Thursday, April 5, 2007

Ketika Bilal Memanggilmu


Namaku Bilal. Ayahku bernama Rabah, seorang budak dari Abesinia, oleh karena
itu nama panjangku Bilal Bin Rabah. Aku tidak tahu mengapakah Ayah dan Ibuku
sampai di sini, Makkah. Sebuah tempat yang hanya memiliki
benderang matahari, hamparan sahara dan sedikit pepohonan. Aku seorang budak
yang menjadi milik tuannya. Umayyah, biasa tuan saya itu dipanggil. Seorang
bangsawan Quraisy, yang hanya peduli pada harta dan kefanaan. Setiap jeda,
aku harus bersiap kapan saja dilontarkan perintah. Jika tidak, ada cambuk
yang menanti akan mendera bagian tubuh manapun yang disukainya.

Setiap waktu adalah sama, semua hari juga serupa tak ada bedanya, yakni
melayani majikan dengan sempurna. Hingga suatu hari aku mendengar seseorang
menyebutkan nama Muhammad. Tadinya aku tak peduli, namun kabar yang ku
dengar membuatku selalu memasang telinga baik-baik. Muhammad, mengajarkan
agama baru yaitu menyembah Tuhan yang maha tunggal. Tidak ada tuhan yang
lain. Aku tertarik dan akhirnya, aku bersyahadat diam-diam.

Namun, pada suatu hari majikanku mengetahuinya. Aku sudah tahu kelanjutannya
Mereka memancangku di atas pasir sahara yang membara. Matahari begitu terik
seakan belum cukup, sebuah batu besar menindih dada ini. Mereka mengira aku
akan segera menyerah. Haus seketika berkunjung, ingin sekali minum. Aku
memintanya pada salah seorang dari mereka, dan mereka membalasnya dengan
lecutan cemeti berkali-kali. Setiap mereka memintaku mengingkari Muhammad,
aku hanya berucap "Ahad... ahad". Batu diatas dada mengurangi kemampuanku
berbicara sempurna. Hingga suatu saat, seseorang menolongku, Abu Bakar
menebusku dengan uang sebesar yang Umayyah minta. Aku pingsan, tak lagi tahu
apa yang terjadi.

Segera setelah sadar, aku dipapah Abu Bakar menuju sebuah tempat tinggal
Nabi Muhammad. Kakiku sakit tak terperi, badanku hampir tak bisa tegak.
Ingin sekali rubuh, namun Abu Bakar terus membimbingku dengan sayang. Tentu
saja aku tak ingin mengecewakannya. Aku harus terus melangkah menjumpai
seseorang yang kemudian ku cinta sampai nafas terakhir terhembus dari raga.
Aku tiba di depan rumahnya. Ada dua sosok disana. Yang pertama adalah Ali
bin Abi Thalib sepupunya yang masih sangat muda dan yang di sampingnya
adalah dia, Muhammad.

Muhammad, aku memandangnya lekat, tak ingin mata ini berpaling. Ku terpesona
jatuh cinta, dan merasakan nafas yang tertahan dipangkal tenggorokan.
Wajahnya melebihi rembulan yang menggantung di angkasa pada malam-malam yang
sering ku pandangi saat istirahat menjelang. Matanya jelita menatapku hangat
Badannya tidak terlalu tinggi tidak juga terlau pendek. Dia adalah seorang
yang jika menoleh maka seluruh badannya juga. Dia menyenyumiku, dan aku
semakin mematung, rasakan sebuah aliran sejuk sambangi semua pori-pori yang
baru saja dijilati cemeti.

Dia bangkit, dan menyongsongku dengan kegembiraan yang nampak sempurna.
Bahkan hampir tidak ku percaya, ada genangan air mata di pelupuk
pandangannya. Ali, saat itu bertanya "Apakah orang ini menjahati engkau,
hingga engkau menangis". "Tidak, orang ini bukan penjahat, dia adalah
seorang yang telah membuat langit bersuka cita", demikian Muhammad menjawab.
Dengan kedua tangannya, aku direngkuhnya, di peluk dan di dekapnya, lama.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, yang pasti saat itu aku merasa terbang
melayang ringan menjauhi bumi. Belum pernah aku diperlakukan demikian
istimewa.

Selanjutnya aku dijamu begitu ramah oleh semua penghuni rumah. Ku duduk di
sebelah Muhammad, dan karena demikian dekat, ku mampu menghirup wewangi yang
harumnya melebihi aroma kesturi dari tegap raganya. Dan ketika tangan Nabi
menyentuh tangan ini begitu mesra, aku merasakan semua derita yang mendera
sebelum ini seketika terkubur di kedalaman sahara. Sejak saat itu, aku
menjadi sahabat Muhammad.

Kau tidak akan pernah tahu, betapa aku sangat beruntung menjadi salah
seorang sahabatnya. Itu ku syukuri setiap detik yang menari tak henti. Aku
Bilal, yang kini telah merdeka, tak perlu lagi harus berdiri sedangkan
tuannya duduk, karena aku sudah berada di sebuah keakraban yang mempesona.
Aku, Bilal budak hitam yang terbebas, mereguk setiap waktu dengan limpahan
kasih sayang Al-Musthafa. Tak akan ada yang ku inginkan selain hal ini.

Oh iya, aku ingin mengisahkan sebuah pengalaman yang paling membuatku
berharga dan mulia. Inginkah kalian mendengarnya?

Di Yathrib, mesjid, tempat kami, umat Rasulullah beribadah telah berdiri.
Bangunan ini dibangun dengan bahan-bahan sederhana. Sepanjang hari, kami
semua bekerja keras membangunnya dengan cinta, hingga kami tidak pernah
merasakan lelah. Nabi memuji hasil kerja kami, senyumannya selalu mengembang
menjumpai kami. Ia begitu bahagia, hingga selalu menepuk setiap pundak kami
sebagai tanda bahwa ia begitu berterima kasih. Tentu saja kami melambung.

Kami semua berkumpul, meski mesjid telah selesai dibangun, namun terasa
masih ada yang kurang. Ali mengatakan bahwa mesjid membutuhkan penyeru agar
semua muslim dapat mengetahui waktu shalat telah menjelang. Dalam beberapa
saat kami terdiam dan berpandangan. Kemudian beberapa sahabat membicarakan
cara terbaik untuk memanggil orang-orang.

"Kita dapat menarik bendera" seseorang memberikan pilihan.
"Bendera tidak menghasilkan suara, tidak bisa memanggil mereka"
"Bagaimana jika sebuah genta?"
"Bukankah itu kebiasaan orang Nasrani"
"Jika terompet tanduk?"
"Itu yang digunakan orang Yahudi, bukan?"

Semua yang hadir di sana kembali terdiam, tak ada yang merasa puas dengan
pilihan-pilihan yang dibicarakan. Ku lihat Nabi termenung, tak pernah ku
saksikan beliau begitu muram. Biasanya wajah itu seperti matahari di setiap
waktu, bersinar terang. Sampai suatu ketika, adalah Abdullah Bin Zaid dari
kaum Anshar, mendekati Nabi dengan malu-malu. Aku bergeser memberikan tempat
kepadanya, karena ku tahu ia ingin menyampaikan sesuatu kepada Nabi secara
langsung.

"Wahai, utusan Allah" suaranya perlahan terdengar. Mesjid hening, semua mata
beralih pada satu titik. Kami memberikan kepadanya kesempatan untuk
berbicara.

"Aku bermimpi, dalam mimpi itu ku dengar suara manusia memanggil kami untuk
berdoa..." lanjutnya pasti. Dan saat itu, mendung di wajah Rasulullah
perlahan memudar berganti wajah manis berseri-seri. "Mimpimu berasal dari
Allah, kita seru manusia untuk mendirikan shalat dengan suara manusia juga.
". Begitu nabi bertutur.

Kami semua sepakat, tapi kemudian kami bertanya-tanya, suara manusia seperti
apa, lelakikah?, anak-anak?, suara lembut?, keras? atau melengking? Aku juga
sibuk memikirkannya. Sampai kurasakan sesuatu diatas bahuku, ada tangan
Al-Musthafa di sana. "Suara mu Bilal" ucap Nabi pasti. Nafasku seperti
terhenti.

Kau tidak akan pernah tahu, saat itu aku langsung ingin beranjak
menghindarinya, apalagi semua wajah-wajah teduh di dalam mesjid memandangku
sepenuh cinta. "Subhanallah, saudaraku, betapa bangganya kau mempunyai
sesuatu untuk kau persembahkan kepada Islam" ku dengar suara Zaid dari
belakang. Aku semakin tertunduk dan merasakan sesuatu bergemuruh di dalam
dada. "Suaramu paling bagus duhai hamba Allah, gunakanlah" perintah nabi
kembali terdengar. Pujian itu terdengar tulus. Dan dengan memberanikan diri,
ku angkat wajah ini menatap Nabi. Allah, ada senyuman rembulannya untukku.
Aku mengangguk.

Akhirnya, kami semua keluar dari mesjid. Nabi berjalan paling depan, dan
bagai anak kecil aku mengikutinya. "Naiklah ke sana, dan panggillah mereka
di ketinggian itu" Nabi mengarahkan telunjuknya ke sebuah atap rumah
kepunyaan wanita dari Banu'n Najjar, dekat mesjid. Dengan semangat, ku naiki
atap itu, namun sayang kepalaku kosong, aku tidak tahu panggilan seperti apa
yang harus ku kumandangkan. Aku terdiam lama.

Di bawah, ku lihat wajah-wajah menengadah. Wajah-wajah yang memberiku
semangat, menelusupkan banyak harapan. Mereka memandangku, mengharapkan
sesuatu keluar dari bibir ini. Berada diketinggian sering memusingkan kepala
dan ku lihat wajah-wajah itu tak mengharapkan ku jatuh. Lalu ku cari sosok
Nabi, ada Abu Bakar dan Umar di sampingnya. "Ya Rasul Allah, apa yang harus
ku ucapkan?" Aku memohon petunjuknya. Dan kudengar suaranya yang bening
membumbung sampai di telinga " Pujilah Allah, ikrarkan Utusan-Nya, Serulah
manusia untuk shalat". Aku berpaling dan memikirkannya. Aku memohon kepada
Allah untuk membimbing ucapanku.

Kemudian, ku pandangi langit megah tak berpenyangga. Lalu di kedalaman
suaraku, aku berseru :

Allah Maha Besar. Allah Maha Besar
Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah
Aku bersaksi bahwa Muhammad Utusan Allah
Marilah Shalat
Marilah Mencapai Kemenangan
Allah Maha Besar. Allah Maha Besar
Tiada Tuhan Selain Allah.

Ku sudahi lantunan. Aku memandang Nabi, dan kau akan melihat saat itu
Purnama Madinah itu tengah memandangku bahagia. Ku turuni menara, dan aku
disongsong begitu banyak manusia yang berebut memelukku. Dan ketika Nabi
berada di hadapan ku, ia berkata "Kau Bilal, telah melengkapi Mesjidku".

Aku, Bilal, anak seorang budak, berkulit hitam, telah dipercaya menjadi
muadzin pertama, oleh Dia, Muhammad, yang telah mengenyahkan begitu banyak
penderitaan dari kehidupan yang ku tapaki. Engkau tidak akan pernah tahu,
mengajak manusia untuk shalat adalah pekerjaan yang dihargai Nabi begitu
tinggi. Aku bersyukur kepada Allah, telah mengaruniaku suara yang indah.
Selanjutnya jika tiba waktu shalat, maka suaraku akan memenuhi udara-udara
Madinah dan Makkah.

Hingga suatu saat,

Manusia yang paling ku cinta itu dijemput Allah dengan kematian terindahnya.
Purnama Madinah tidak akan lagi hadir mengimami kami. Sang penerang telah
kembali. Tahukah kau, betapa berat ini ku tanggung sendirian. Aku seperti
terperosok ke sebuah sumur yang dalam. Aku menangis pedih, namun aku tahu
sampai darah yang keluar dari mata ini, Nabi tak akan pernah kembali. Di
pangkuan Aisyah, Nabi memanggil 'ummatii. ummatiii' sebelum nafas
terakhirnya perlahan hilang. Aku ingat subuh itu, terkakhir nabi memohon
maaf kepada para sahabatnya, mengingatkan kami untuk senantiasa mencintai
kalam Ilahi. Kekasih Allah itu juga mengharapkan kami untuk senantiasa
mendirikan shalat. Jika ku kenang lagi, aku semakin ingin menangis. Aku
merindukannya, sungguh, betapa menyakitkan ketika senggang yang kupunya pun
aku tak dapat lagi mendatanginya.

Sejak kematian nabi, aku sudah tak mampu lagi berseru, kedukaan yang amat
membuat ku lemah. Pada kalimat pertama lantunan adzan, aku masih mampu
menahan diri, tetapi ketika sampai pada kalimat Muhammad, aku tak sanggup
melafalkannya dengan sempurna. Adzanku hanya berisi isak tangis belaka. Aku
tak sanggup melafalkan seluruh namanya, 'Muhammad'. Jangan kau salahkan aku.
Aku sudah berusaha, namun, adzanku bukan lagi seruan. Aku hanya menangis di
ketinggian, mengenang manusia pilihan yang menyayangiku pertama kali. Dan
akhirnya para sahabat memahami kesedihan ini. Mereka tak lagi memintaku
untuk berseru.

Sekarang, ingin sekali ku memanggil kalian. memanggil kalian dengan cinta.
Jika kalian ingin mendengarkan panggilanku, dengarkan aku, akan ada
manusia-manusia pilihan lainnya yang mengumandangkan adzan. Saat itu,
anggaplah aku yang memanggil kalian. Karena, sesungguhnya aku sungguh
merindui kalian yang bersegera mendirikan shalat.

Alhamdulillah kisahku telah sampai, ku sampaikan salam untuk kalian.

Wassalamu'alaikum

***

Sahabat, jika adzan bergema, kita tahu yang seharusnya kita lakukan. Ada
Bilal yang memanggil. Tidakkah, kita tersanjung dipanggil Bilal.
Bersegeralah menjumpai Allah, hadirkan hatimu dalam shalatmu, dan Allah akan
menatapmu bahagia. " shalatlah sebelum kamu di shalatkan". Sebuah kalimat
yang sarat makna jika direnungkan dalam-dalam.

No comments: